DAFTAR ISI
Daftar isi................................................................................................................... 1
BAB I Pendahuluan.................................................................................................. 2
BAB II Pembahasan
A. Pengertian Kode Etik........................................................................................... 3
B. Kode Etik Profesi Keguruan.................................................................................
C. Tujuan Kode Etik..................................................................................................
D. Penetapan Kode Etik............................................................................................
E.
Sanksi Pelanggaran Kode Etik..............................................................................
F.
Organisasi Profesi Guru........................................................................................
BAB III Penutup.......................................................................................................
Daftar pustaka............................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
Salah satu ciri profesi adalah adanya kontrol ketat
atas para anggotanya. Suatu profesi ada dan diakui masyarakat karena ada usaha
dari para anggotanya untuk menghimpun diri. Melalui organisasi tersebut,
profesi dilindungi dari kemungkinan penyalahgunaan yang dapat membahayakan
keutuhan dan kewibawaan profesi itu. Kode etik pun disusun dan disepakati oleh
para anggotanya. Maka suatu organisasi profesi menyerupai suatu sistem yang
senatiasa mempertahankan keadaan yang harmonis ia akan menolak keluar komponen
sistem yang tidak mengikuti arus atau meluruskannya. Dalam praktek
keorganisasian, anggota yang mencoba melanggar aturan main organisasi akan
diperingatkan, bahkan dipecat. Jadi dalam suatu organisasi profesi, ada aturan
yang jelas dan sanksi bagi pelanggar aturan.
Adanya penerimaan atas kode etik itu mengandung makna
selain adanya pengakuan dan pemahaman ata ketentuan atau prinsip-prinsip yang
terkandung di dalamnya, juga adanya suatu ikatan komitmen dan pertanyaan
kesadaran untuk mematuhinya dalam menjalankan tugas dan prilaku keprofesiannya,
serta kesilapan dan kerelaan atas kemungkinan adanya konsekuen dan sanksi
seandainya terjadi kelalaian terhadapnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kode etik
1.
Secara bahasa
Kode etik terdiri dari dua kata, yakni “kode” dan
“etik”. Perkataan “etik” berasal dari kata yunani “ethos” yang berarti
watak, adab atau cara hidup. Etik dapat diartikan cara berbuat yang menjadi
adat, karena persetujuan dari sekelompok manusia. Kata etika juga biasanya
dipakai untuk pengkajian sistem nilai-nilai yang disebut “kode”, sehingga
terlahirlah kata “kode etik”.[1]
2.
Secara istilah
a.
Hornby mendefinisikan kode etik
secara leksikal sebagai berikut:[2]
1) “Code
as colletion of laws arranged in a system; or, system or rules and principles
that has been accepted by society or a class or group of people”.
2) “Ethic as system of moral principles, rules of
conduct”.
b. Menurut Drs. Syaiful Bahri Djamarah, M.Ag secara
harfiah “kode etik” berarti sumber etik. Etika artinya tata susila atau hal-hal
yang berhubungan dengan kesusilaan dalam mengerjakan suatu perkerjaan.[3]
c.
Menurut
Undang- undang nomor 8 Tahun 1974 tentang pokok kepegawaian. Pasal
228 Undang-undang ini dengan jelas menyatakan bahwa “Pegawai Negeri Sipil
mempunyai kode etik sebagai pedoman sikap, tingkah laku dan perbuatan di dalam
dan di luar kedinasan.”[4]
Dalam
penjelasan Undang-undang tersebut dinyatakan bahwa dengan adanya kode etik ini,
pegawai negeri sipil sebagai aparatur negara, abdi negara, dan abdi masyarakat
mempunyai pedoman sikap, tingkah laku, dan perbuatan dalam melaksanakan
tugasnya dan dalam pergaulan hidp sehari-hari. Selanjutnya, dalam kode etik Pegawai Negeri Sipil itu digariskan pula
prinsip-prinsip pokok tentang pelaksanaan tugas dan tanggung jawab pegawai
negeri. Dari uraian ini dapat kita simpulkan, bahwa kode etik kode etik
merupakan pedoman sikap, tingkah laku,
dan perbuatan di dalam melaksanakan tugas dan dalam hidup sehari-hari.
d. Dalam pidato pembukaan Kongres PGRI XIII,
Basuni sebagai Ketua Umum PGRI
menyatakan bahwa Kode Etik Guru Indonesia merupakan landasan moral dan pedoman
tingkah laku guru warga PGRI dalam melaksanakan panggilan pengabdiannya bekerja
sebagai guru (PGRI, 1973). Dari
pendapat Ketua Umum PGRI ini dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam Kode Etik
Guru Indonesia terdapat dua unsur pokok yakni: (1) sebagai landasan moral. (2)
sebagai pedoman tingkah laku.[5]
Dari uraian di atas dapat disimulkan,
bahwa kode etik suatu profesi adalah norma-norma yang harus diindahkan oleh
setiap anggota profesi di dalam melaksanakan tugas profesinya dan dalam
hidupnya di masyarakat. Norma-norma tersebut berisi petunjuk-petunjuk bagi para
anggota profesi tentang bagaimana mereka melaksanakan profesinya dan
larangan-larangan, yaitu ketentuan-ketentuan tentang apa yang tidak boleh
diperbuat atau dilaksanakan oleh mereka, tidak saja dalam menjalankan tugas
profesi mereka, melainkan juga menyangkut tingkah laku anggota profesi pada
umumnya dalam pergaulan sehari-hari di dalam masyarakat.
B. Kode Etik profesi Keguruan
Kode etik
keprofesian itu memiliki kedudukan, peran dan fungsi yang sangat penting dan
strategis dalam menompang keberadaan dan kelansungan hidup suatu profesi di
masyarakat. Bagi para pengemban tugas profesi akan menjadi pegangan dalam
bertindak serta menjadi acuan dasar dalam seluk beluk keprilakuannya dalam
rangka memelihara dan menjunjung tinggi martabat dan wibawa serta kredibilitas
visi, misi dan fungsi bidang profesinya. Dengan demikian, maka kode etik itu
merupakan acuan normatif dan juga operasional. Bagi para pemakai jasa layanan
profesional, kode etik juga dapat merupakan landasan jika dipandang perlu untuk
mengajukan tuntutan kepada pihak yang berwenang dalam hal terjadinya sesuatu
yang tidak diharapkan dari pengemban profesi bersangkutan. Sedangkan bagi para
pembina dan penegak kode etik khususnya dan penegak hukum pada umumnya,
perangkat kode etik yang dimaksud merupakan landasan bertindak sesuai dengan
keperluannya, termasuk pemberlakuan sanksi keprofesian bagi pihak-pihak yang
terkait.
Guru sebagai
tenaga profesional perlu memiliki “kode etik guru” dan menjadikannya sebagai
pedoman yang mengatur pekerjaan guru selama pengabdian. Kode etik guru
diartikan sebagai “aturan tata susila keguruan”. Menurut westby gibson, kode
etik guru adalah suatu statemen formal yang merupakan norma (aturan tata
susila) dalam aturan tingkah laku guru.[6]
Kode etik guru
ini merupakan ketentuan yang mengikat semua sikap dan perbuatan asusila dan
amoral berarti guru telah melanggar “kode etik guru”. Sebab kode etik guru ini
sebagai salah satu ciri yang harus ada pada profesi guru itu sendiri.
Perangkat kode
etik itu pada umumnya mengandung muatan yang terdiri atas preambul dan
perangkat prinsip dasarnya. Preambul lazimnya merupakan deklarasi inti yang
menjiwai keseluruhan perangkat kode etik yang bersangkutan. Sedangkan unsur
berikutnya memuat prinsip-prinsip dasarnya, antara lain yang bersangkutan
dengan: tanggung jawab, kewenangan (kompetensi), standar moral dan hukum,
standar unjuk kerja termasuk tehnik dan instrumen yang digunakan atau
dilibatkan, konfidensialitas, hubungan kerja dan sejawat (profesional),
perlindungan keamanan dan kesejahteraan klien, kewajiban pengembangan diri dan
kemampuan profesional termasuk penelitian, serta publisitas keprofesiannya
kepada masyarakat. Muatannya ada hanya garis besar saja dan ada pula yang
disertai rinciannya.[7]
Berbicara
mengenai “Kode Etik Guru Indonesia” berarti kita membicarakan guru yang ada di
Indonesia. Kode etik guru Indonesia terdapat pada hasil rumusan kongres PGRI
XIII pada tangggal 21 sampai dengan 25 november 1973 di Jakarta,terdiri dari
sembilan poin, yaitu:[8]
1.
Guru berbakti membimbing anak didik seutuhya untuk membentuk manusia
pembangunan yang ber-Pancasila.
2.
Guru memiliki kejujuran profesional dalam menerapkan kurikulum sesuai
kebutuhan anak didik masing-masing.
3.
Guru mengadakan komunikasi, terutama dalam memperoleh informasi tentang
anak didiknya, tetapi menghindarkan diri dari segala bentuk penyalahgunaan.
4.
Guru menciptakan suasana kehidupan sekolah dan memelihara hubungan
dengan orang tua didik sebaik-baiknya bagi kepentingan anak didik.
5.
Guru memelihara hubungan baik dengan masyarakat di sekitar sekolahnya
maupun masyarakat yang lebih luas untuk kepentingan pendidikan.
6.
Guru sendiri atau bersama-sama berusaha mengembangkan dan meningkatkan
mutu profesinya
7.
Guru menciptakan dan memelihara hubungan antara sesama guru, baik
berdasarkan lingkungan kerja maupun dalam hubungan keseluruhan.
8.
Guru secara hukum bersama-sama memelihara, membina, dan meningkatkan
mutu organisasi guru profesional sebagai saran pengabdian.
9.
Guru melaksanakan segala ketentuan yang merupakan kebijaksanaan
pemerintah dalam bidang pendidikan.
Namun pada tahun 1994 Kode Etik Guru indonesia
mengalami beberapa perubahan pada pedoman dasarnya, akan tetapi tidak mengubah
esensi dari isi dasar pedoman itu sendiri, seperti berikut:
Kode Etik Guru Indonesia
Guru Indonesia menyadari bahwa pendidikan adalah
bidang pengabdian terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Bangsa, dan Negara serta
kemanusiaan padsa umumnya. Guru Indonesia yang berjiwa Pancasila dan setia pada
UUD 1945, turut bertanggung jawab atas terwujudnya cita-cita Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945. Oleh sebab itu, pada AD/ART
PGRI tahun 1994 Guru Indonesia terpanggil untuk menuaikan karyanya dengan
berpedoman dasar-dasar sebagai berikut.[9]
1.
Guru berbakti membimbing anak didik untuk membentuk manusia Indonesia
seutuhnya yang berjiwa Pancasila.
2.
Guru memiliki dan melaksanakan kejujuran profesional
3.
Guru berusaha memperoleh informasi tentang peserta didik sebagai bahan
melakukan bimbingan dan pembinaan.
4.
Guru menciptakan suasana sekolah sebaik-baiknya yang menunjang
berhasilnya proses belajar mengajar.
5.
Guru memelihara hubungan baik dengan orang tua murid dan masyarakat sekitarnya untuk membina peran
serta dan rasa tanggung jawab bersama terhadap pendidikan.
6.
Guru secara pribadi dan bersama-sama, mengembangkan dan meningkatkan
mutu dan martabat profesinya.
7.
Guru memelihara hubungan seprofesi, semangat kekeluargaan dan
kesetiakawan sosial.
8.
Guru bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organisasi PGRI
sebagai saran perjuangan dan pengabdian.
9.
Guru melaksanakan segala kebijaksanaan pemerintah dalam bidang
pendidikan.
Kode etik guru
ini merupakan suatu yang harus dilaksakan sebagai barometer dari semua sikap
dan perbuatan guru dalam berbagai segi kehidupan, baik dalam keluarga, sekolah
maupun masyarakat.
C. Tujuan kode etik
Pada dasarnya
tujuan merumuskan kode etik dalam suatu profesi adalah untuk kepentingan
anggota dan kepentingan organisasi profesi itu sendiri. Secara umum tujuan
mengadakan kode etik adalah sebagai berikut:[10]
a.
Untuk menjunjung tinggi martabat profesi
Dalam hal ini kode etik dapat menjaga pandagan dan
kesan dari pihak luar atau masyarakat, agar mereka jangan sampai memandang
rendah tauremeh terhadap profesi yang bersangkutan. Oleh karenanya, setiap kode
etik suatu profesi akan melarang berbagai bentuk tinda-tanduk atau kelakuan
anggota profesi yang daat mencemarkan nama baik profesi terhadap dunia luar.
Dari segi ini, kode etik juga seringkali disebut kode kehormatan.
b.
Untuk menjaga dan memelihara kesejahteraan para anggotanya
Yang dimaksudkan
kesejahteraan disni meliputi baik kesejahteraan lahir (atau material) maupun
kesejahteraan batin (spiritual atau mental). Dalam hal kesejahteraan lahir para
anggota profesi, kode etik umumnya memuat larangan-larangan kepada para
anggotanya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang merugikan kesejahteraan
para anggotanya. Misalnya dengan menetapkan tarif-tarif minimum bagi honorarium
anggota profesi dalam melaksanakan tugasnya, sehingga siapa-siapa yang
mengadakan tarif di bawah minimum akan diangga tercela dan merugikan
rekan-rekan seprofesi. Dalam hal kesejahteraan batin paea anggota profesi,kode
etik umumnya memberi petunjuk-petunjuk kepada para anggotanya untuk
melaksanakan profesinya.
Kode etik juga
sering mengandung peraturan-peraturan yang bertujuan membatasi tingkah laku
yang tidak pantas atau tidak jujur bagi para anggota profesi dalam berinteraksi
dengan sesama rekan anggota profesi.
c.
Untuk meingkatkan pengabdian para anggota profesi
Tujuan lain kode
etik juga berkaitan dengan peningkatan kegiatan pengabdian profesi, sehingga
bagi para anggota profesi dapat dengan mudah mengetahui tugas dan tanggung
jawabpengabdian dalam melaksanakan tugasnya. Olek karena itu, kode etik
merumuskan ketentuan-ketentuan yang perlu dilakukan para anggota profesi dalam
menjalankan tugasnya.
d.
Untuk meningkatkan mutu profesi
Untuk
meningkatkan mutu profesi kode etik juga memuat norma-norma dan anjuran agar
para anggota profesi selalu berusaha untuk meningkatkan mutu pengabdian para
anggotanya.
e.
Untuk meningkatkan mutu organisasi profesi
Untuk
meningkatkan mutu organisasi profesi, maka diwajibkan kepada setiap anggota
untuk secara aktif berpartisipasi dalam membina organisasi profesi dan
kegiatan-kegiatan yang dirancang organisasi.
Dari uraian
tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan suatu profesi menyusun kode etik
adalah utnuk menjunjung tinggi martabat profesi, menjaga dan memelihara
kesejahteraan pada para anggota. Meningkatkan pengabdian anggota profesi, dan
meningkatkan mutu profesi dan mutu organisasi profesi.
D. Penetapan kode etik
Kode etik hanya
dapat ditetapkan oleh suatu organisasi profesi yang berlaku dan mengikat para
anggotanya. Penetapan kode etik lazim dilakukan pada suatu kongres organisasi
profesi. Dengan demikian, penetapan kode etik tidak boleh dilakukan oleh orang
secara perorangan, melainkan harus dilakukan oleh orang-orang yang diutus untuk
dan atas nama anggota-anggota profesi dari organisasi tersebut.[11]
Dengan demikian, jelas bahwa orang-orang yang bukan atau tidak menjadi anggota
profesi tersebut. Kode etik suatu profesi hanya akan mempunyai pengaruh kuat
dalam menegakkan disiplin dikalangan profesi tersebut, jika semua orang yang
menjalani profesi tersebut tergabung (menjadi anggota) dalam organisasi profesi
yang bersangkutan.
Apabila setiap
orang yang menjalankan suatu profesi secara otomatis tergabung dalam suatu
organisasi atau ikatan profesional, maka barulah ada jaminan bahwa profesi
tersebut dapat dijalankan secara murni dan baik, karena setiap anggota profesi
yang melakukan pelanggaran yang serius terhadap kode etik dapat dikenakan
sanksi.
E.
Sanksi pelanggaran kode etik
Sering juga kita
jumpai, bahwa ada kalanya negara mencampuri urusan profesi, sehingga hal-hal
yang semula hanya merupakan kode etik dari suatu profesi tertentu dapat
meningkat menjadi peraturan hukum atau undang-undang. Apabila halnya demikian,
maka aturan yang mulanya sebagai landasan moral dan pedoman tingkah laku
meningkat menjadi aturan yang memberikan sanksi-sanksi hukum yang sifatnya
memaksa, baik berupa sanski perdata maupun sanksi pidana. Sanksi terhadap guru yang melakukan pelanggaran dapat berupa:[12]
·
Teguran
·
Peringatan
tertulis
·
Penundaan
pemberian hak guru
·
Penurunan
Pangkat
·
Pemberhentian
dengan hormat
·
Pemberhentian
tidak dengan hormat, jika:
a. Melanggar sumpah dan janji jabatan.
b. Melanggar perjanjian kerja atau kesepakatan
kerja bersama.
c. Melalaikan kewajiban dalam melaksanakan
tugas selama 1 bulan atau lebih secara terus menerus.
Sebagai contoh
dalam hal ini jika seseorang anggota profesi bersaing secara tidak juur atau
curang dengan sesama anggota profesinya, dan jika dianggap kecurangan itu
serius ia dapat dituntut di muka pengadilan. Pada umumnya, karena kode etik
adalah landasan moral dan merupakan pedoman
sikap, tingkah laku, dan perbuatan maka sanksi terhadap pelanggaran kode
etik adalah sanksi moral. Barangsiapa melanggar kode etik akan mendapat celaan
dari rekan-rekannya, sedangkan sanksi yang dianggap terberat adalah dalam suatu
organisasi profesi tertentu, menandakan bahwa organisasi profesi itu telah
mantap.
d. Organisasi Profesional keguruan
1.
Undang-undang yang mengatur Organisasi profesi dan kode etik.
Undang-undang yang mengatur Organisasi profesi dan
kode etik tersebut terdapat pada Undang-undang RI No. 14 tahun 2005 tentang
guru dan dosen.[13]
BAB IV GURU
Bagian Ke-Sembilan
Organisasi Profesi Dan Kode Etik
Pasal 41:
1.
Guru membentuk organisasi profesi yang bersifat independen
2.
Organisasi profesi sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) berfungsi
untuk memajukan profesi, meningkatkan kompetensi, karier, wawasan kependidikan,
perlindungan profesi, kesejahteraan dan pengabdian kepada masyarakat.
3.
Guru wajib menjadi anggota organisasi profesi.
4.
Pembentukan organisasi profesi sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1)
dilakukan sesuai dangan peraturan perundang-undangan.
5.
Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dapat memfasilitasi organisasi
profesi guru dalam pelaksanaan pembinaan dan pengembangan profesi guru.
Pasal 42
Organisasi profesi guru mempunyai kewenangan:
a.
Menetapkan dan menegakkan kode etik guru;
b.
Memeberikan bantuan hukum kepada guru;
c.
Memberikan perlindungan profesi guru;
d.
Melakukan pembinaan dan pengembangan profesi guru; dan
e.
Memajukan pendidikan nasional.
Pasal 43
1.
Untuk menjaga dan meningkatkan kehormatan dan martabat guru dalam
pelaksanaan tugas keprofesionalan, organisasi profesi guru membentuk kode etik.
2.
Kode etik sebagaimana pada ayat (1) berisi norma dan etika yang mengikat
perilaku guru dalam pelaksannan tugas keprofesionalan.
Pasal 44
1.
Dewan kehormatan guru dibentuk oleh organisasi profesi guru
2.
Keanggotaan serta mekanisme kerja dewan kehormatan guru sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam anggaran dasar organisasi profesi guru.
3.
Dewan kehormatan guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk untuk
mengawasi pelaksanaan kode etik guru dan memberikan rekomendasi pemberian
sanksi atas pelanggaran kode etik oleh guru.
4.
Rekomendasi dewan kehormatan profesi guru sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) hams objektif, tidak diskriminatif, dan tidak bertentangan dengan anggaran
dasar organisasi profesi serta peraturan perundang-undangan.
5.
Organisasi profesi guru wajib melaksanakan rekomendasi dewan kehormatan
guru sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
2.
Fungsi organisasi profesional keguruan
Seperti yang
telah disebutkan dalam salah satu kriteria jabatan profesional, jabatan profesi
harus mempunyai wadah untuk menyatukan gerak langkah dan mengendalikan
keseluruhan profesi, yakni organisasi profesi. Bagi guru-guru di negara kita,
wadah ini telah ada yakni Persatuan Guru Republik Indonesia yang lebih dikenal
dengan singkatan PGRI. PGRI didirikan di Surakarta pada tanggal 25 November
1945, sebagai perwujudan aspirasi guru indonesia dalam mewujudkan cita-cita
perjuangan bangsa.
Salah satu
tujuan PGRI adalah mempertinggi kesadaran, sikap, mutu, dan kegiatan profesi
guru serta meningkatkan kesejahteraan mereka. Selanjutnya, Bsuni menguraikan
empat misi utama PGRI, yakni: (a) misi politis/ideologi, (b) misi persatuan
organisatoris, (c) misi profesi, (d) misi kesejahteraan. Kelihatannya, dari
realitasnya dalam prpgram-program PGRI. Ini dapat dibuktikan dengan telah
adanya wakil-wakil PGRI dalam badam legislatif seperti DPR dan MPR. Peranan
yang lebih menonjol ini dapat kita pahamisesuai dengan tahap perkembangan dan
pembangunan bangsa dalam era orde baru ini.
Dalam
pelaksanaan misi lainnya, misi kesejahteraan, kelihatannya masih perlu
ditingkatkan. Sementara pelaksanaan misi ketiga, misi prifesi, belum tampak
kiprah nyatanya dan belum terlalu melembaga.
Dalam kaitannya
dengan pengembangan profesional guru, PGRI sampai saat ini masih mengandalkan
pihak pemerintah, misalnya dalam merencanakan dan melakukan
program-program penataran guru serta
program peningkatan mutu lainnya. PGRI belum banyak merencanakan dan melakukan
program atau kegiatan yang berkaitan dengan perbaikan cara mengajar,
peningkatan pengetahuan dan keterampilan guru, peningkatan kualifikasi guru
atau melakukan peneltiian ilmiah tentang masalah-masalah profesional yang
dihadapi oleh para guru dewasa ini.
3.
Jensis-jenis Organisasi Guru
Selain PGRI
sebagai satu-satunya organisasi guru yang diakui pemerintah sampai saat ini,
ada organisasi guru yang disebut Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) yang
bertujuan meningkatkan mutu dan profesionalisasi guru dalam kelompoknya
masing-masing. Kegiatan-kegiatan dalam kelompok ini diatur dengan jadwal yang
cukup baik.
Organisasi
profesi pendidikan lainnya adalah Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI),
Asosiasi Bimbingan dan Konseling Profesi Indonesia (ABKIN), Ikatan Petugas
Bimbingan Indonesia (IPBI), Himpunan Sarjana
Pendidikan Bahasa Indonesia (HSPBI), dan lain-lain.[14]
Hubungan
organisasi tersebut dengan PGRI masih belum tampak nyata secara formal,
sehingga nampak kerjasama mutualisme dalam peningkatan kualitas guru. Dengan
diberlakukannya standar kompetensi dann sertifikasi guru, organisasi-organisasi
profesi tersebut akan sangat berperan dalam meningkatkan kualitas guru, melalui
berbagai kegiatan sesuai dengan visi dan misinya masing-masing.
DAFTAR
PUSTAKA
[1] Syaiful Bahri Djamarah, Guru Dan Anak Didik dalam interaksi edukatif (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2010) hlm 49
[3] Syaiful Bahri Djamarah, Guru Dan Anak Didik dalam interaksi edukatif (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2010) hlm 49
[6] Syaiful Bahri Djamarah, Guru Dan Anak Didik dalam interaksi edukatif (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2010) hlm 49
[8] Syaiful Bahri Djamarah, Guru Dan Anak Didik dalam interaksi edukatif (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2010) hlm 50
[13] Undang-undang
dan peraturan pemerintah RI tentang pendidikan. Direktorat Jendral Pendidikan
Islam Agama RI 2006. Hal: 103
Tidak ada komentar:
Posting Komentar