Jumat, 05 Mei 2017

kode etik guru

DAFTAR ISI
Daftar isi................................................................................................................... 1
BAB I Pendahuluan.................................................................................................. 2
BAB II Pembahasan
A.  Pengertian Kode Etik........................................................................................... 3
B.  Kode Etik Profesi Keguruan.................................................................................
C.  Tujuan Kode Etik..................................................................................................
D.  Penetapan Kode Etik............................................................................................
E.   Sanksi Pelanggaran Kode Etik..............................................................................
F.   Organisasi Profesi Guru........................................................................................
BAB III Penutup.......................................................................................................
Daftar pustaka............................................................................................................





BAB I
PENDAHULUAN
Salah satu ciri profesi adalah adanya kontrol ketat atas para anggotanya. Suatu profesi ada dan diakui masyarakat karena ada usaha dari para anggotanya untuk menghimpun diri. Melalui organisasi tersebut, profesi dilindungi dari kemungkinan penyalahgunaan yang dapat membahayakan keutuhan dan kewibawaan profesi itu. Kode etik pun disusun dan disepakati oleh para anggotanya. Maka suatu organisasi profesi menyerupai suatu sistem yang senatiasa mempertahankan keadaan yang harmonis ia akan menolak keluar komponen sistem yang tidak mengikuti arus atau meluruskannya. Dalam praktek keorganisasian, anggota yang mencoba melanggar aturan main organisasi akan diperingatkan, bahkan dipecat. Jadi dalam suatu organisasi profesi, ada aturan yang jelas dan sanksi bagi pelanggar aturan.
Adanya penerimaan atas kode etik itu mengandung makna selain adanya pengakuan dan pemahaman ata ketentuan atau prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya, juga adanya suatu ikatan komitmen dan pertanyaan kesadaran untuk mematuhinya dalam menjalankan tugas dan prilaku keprofesiannya, serta kesilapan dan kerelaan atas kemungkinan adanya konsekuen dan sanksi seandainya terjadi kelalaian terhadapnya.




BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Kode etik
1.    Secara bahasa
Kode etik terdiri dari dua kata, yakni “kode” dan “etik”. Perkataan “etik” berasal dari kata yunani “ethos” yang berarti watak, adab atau cara hidup. Etik dapat diartikan cara berbuat yang menjadi adat, karena persetujuan dari sekelompok manusia. Kata etika juga biasanya dipakai untuk pengkajian sistem nilai-nilai yang disebut “kode”, sehingga terlahirlah kata “kode etik”.[1]
2.    Secara istilah
a.   Hornby mendefinisikan kode etik secara leksikal sebagai berikut:[2]
1)   “Code as colletion of laws arranged in a system; or, system or rules and principles that has been accepted by society or a class or group of people”.
2)    “Ethic as system of moral principles, rules of conduct”.
b.  Menurut Drs. Syaiful Bahri Djamarah, M.Ag secara harfiah “kode etik” berarti sumber etik. Etika artinya tata susila atau hal-hal yang berhubungan dengan kesusilaan dalam mengerjakan suatu perkerjaan.[3]
c.   Menurut Undang- undang nomor 8 Tahun 1974 tentang pokok kepegawaian. Pasal 228 Undang-undang ini dengan jelas menyatakan bahwa “Pegawai Negeri Sipil mempunyai kode etik sebagai pedoman sikap, tingkah laku dan perbuatan di dalam dan di luar kedinasan.”[4]
Dalam penjelasan Undang-undang tersebut dinyatakan bahwa dengan adanya kode etik ini, pegawai negeri sipil sebagai aparatur negara, abdi negara, dan abdi masyarakat mempunyai pedoman sikap, tingkah laku, dan perbuatan dalam melaksanakan tugasnya dan dalam pergaulan hidp sehari-hari. Selanjutnya, dalam kode etik Pegawai Negeri Sipil itu digariskan pula prinsip-prinsip pokok tentang pelaksanaan tugas dan tanggung jawab pegawai negeri. Dari uraian ini dapat kita simpulkan, bahwa kode etik kode etik merupakan  pedoman sikap, tingkah laku, dan perbuatan di dalam melaksanakan tugas dan dalam hidup sehari-hari.
d.  Dalam pidato pembukaan Kongres PGRI XIII, Basuni sebagai Ketua Umum PGRI menyatakan bahwa Kode Etik Guru Indonesia merupakan landasan moral dan pedoman tingkah laku guru warga PGRI dalam melaksanakan panggilan pengabdiannya bekerja sebagai guru (PGRI, 1973). Dari pendapat Ketua Umum PGRI ini dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam Kode Etik Guru Indonesia terdapat dua unsur pokok yakni: (1) sebagai landasan moral. (2) sebagai pedoman tingkah laku.[5]
Dari uraian di atas dapat disimulkan, bahwa kode etik suatu profesi adalah norma-norma yang harus diindahkan oleh setiap anggota profesi di dalam melaksanakan tugas profesinya dan dalam hidupnya di masyarakat. Norma-norma tersebut berisi petunjuk-petunjuk bagi para anggota profesi tentang bagaimana mereka melaksanakan profesinya dan larangan-larangan, yaitu ketentuan-ketentuan tentang apa yang tidak boleh diperbuat atau dilaksanakan oleh mereka, tidak saja dalam menjalankan tugas profesi mereka, melainkan juga menyangkut tingkah laku anggota profesi pada umumnya dalam pergaulan sehari-hari di dalam masyarakat.
B.  Kode Etik profesi Keguruan
Kode etik keprofesian itu memiliki kedudukan, peran dan fungsi yang sangat penting dan strategis dalam menompang keberadaan dan kelansungan hidup suatu profesi di masyarakat. Bagi para pengemban tugas profesi akan menjadi pegangan dalam bertindak serta menjadi acuan dasar dalam seluk beluk keprilakuannya dalam rangka memelihara dan menjunjung tinggi martabat dan wibawa serta kredibilitas visi, misi dan fungsi bidang profesinya. Dengan demikian, maka kode etik itu merupakan acuan normatif dan juga operasional. Bagi para pemakai jasa layanan profesional, kode etik juga dapat merupakan landasan jika dipandang perlu untuk mengajukan tuntutan kepada pihak yang berwenang dalam hal terjadinya sesuatu yang tidak diharapkan dari pengemban profesi bersangkutan. Sedangkan bagi para pembina dan penegak kode etik khususnya dan penegak hukum pada umumnya, perangkat kode etik yang dimaksud merupakan landasan bertindak sesuai dengan keperluannya, termasuk pemberlakuan sanksi keprofesian bagi pihak-pihak yang terkait.
Guru sebagai tenaga profesional perlu memiliki “kode etik guru” dan menjadikannya sebagai pedoman yang mengatur pekerjaan guru selama pengabdian. Kode etik guru diartikan sebagai “aturan tata susila keguruan”. Menurut westby gibson, kode etik guru adalah suatu statemen formal yang merupakan norma (aturan tata susila) dalam aturan tingkah laku guru.[6]
Kode etik guru ini merupakan ketentuan yang mengikat semua sikap dan perbuatan asusila dan amoral berarti guru telah melanggar “kode etik guru”. Sebab kode etik guru ini sebagai salah satu ciri yang harus ada pada profesi guru itu sendiri.
Perangkat kode etik itu pada umumnya mengandung muatan yang terdiri atas preambul dan perangkat prinsip dasarnya. Preambul lazimnya merupakan deklarasi inti yang menjiwai keseluruhan perangkat kode etik yang bersangkutan. Sedangkan unsur berikutnya memuat prinsip-prinsip dasarnya, antara lain yang bersangkutan dengan: tanggung jawab, kewenangan (kompetensi), standar moral dan hukum, standar unjuk kerja termasuk tehnik dan instrumen yang digunakan atau dilibatkan, konfidensialitas, hubungan kerja dan sejawat (profesional), perlindungan keamanan dan kesejahteraan klien, kewajiban pengembangan diri dan kemampuan profesional termasuk penelitian, serta publisitas keprofesiannya kepada masyarakat. Muatannya ada hanya garis besar saja dan ada pula yang disertai rinciannya.[7]
Berbicara mengenai “Kode Etik Guru Indonesia” berarti kita membicarakan guru yang ada di Indonesia. Kode etik guru Indonesia terdapat pada hasil rumusan kongres PGRI XIII pada tangggal 21 sampai dengan 25 november 1973 di Jakarta,terdiri dari sembilan poin, yaitu:[8]
1.    Guru berbakti membimbing anak didik seutuhya untuk membentuk manusia pembangunan yang ber-Pancasila.
2.    Guru memiliki kejujuran profesional dalam menerapkan kurikulum sesuai kebutuhan anak didik masing-masing.
3.    Guru mengadakan komunikasi, terutama dalam memperoleh informasi tentang anak didiknya, tetapi menghindarkan diri dari segala bentuk penyalahgunaan.
4.    Guru menciptakan suasana kehidupan sekolah dan memelihara hubungan dengan orang tua didik sebaik-baiknya bagi kepentingan anak didik.
5.    Guru memelihara hubungan baik dengan masyarakat di sekitar sekolahnya maupun masyarakat yang lebih luas untuk kepentingan pendidikan.
6.    Guru sendiri atau bersama-sama berusaha mengembangkan dan meningkatkan mutu profesinya
7.    Guru menciptakan dan memelihara hubungan antara sesama guru, baik berdasarkan lingkungan kerja maupun dalam hubungan keseluruhan.
8.    Guru secara hukum bersama-sama memelihara, membina, dan meningkatkan mutu organisasi guru profesional sebagai saran pengabdian.
9.    Guru melaksanakan segala ketentuan yang merupakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang pendidikan.
Namun pada tahun 1994 Kode Etik Guru indonesia mengalami beberapa perubahan pada pedoman dasarnya, akan tetapi tidak mengubah esensi dari isi dasar pedoman itu sendiri, seperti berikut:
Kode Etik Guru Indonesia
Guru Indonesia menyadari bahwa pendidikan adalah bidang pengabdian terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Bangsa, dan Negara serta kemanusiaan padsa umumnya. Guru Indonesia yang berjiwa Pancasila dan setia pada UUD 1945, turut bertanggung jawab atas terwujudnya cita-cita Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945. Oleh sebab itu, pada AD/ART PGRI tahun 1994 Guru Indonesia terpanggil untuk menuaikan karyanya dengan berpedoman dasar-dasar sebagai berikut.[9]
1.    Guru berbakti membimbing anak didik untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya yang berjiwa Pancasila.
2.    Guru memiliki dan melaksanakan kejujuran profesional
3.    Guru berusaha memperoleh informasi tentang peserta didik sebagai bahan melakukan bimbingan dan pembinaan.
4.    Guru menciptakan suasana sekolah sebaik-baiknya yang menunjang berhasilnya proses belajar mengajar.
5.    Guru memelihara hubungan baik dengan orang tua murid dan  masyarakat sekitarnya untuk membina peran serta dan rasa tanggung jawab bersama terhadap pendidikan.
6.    Guru secara pribadi dan bersama-sama, mengembangkan dan meningkatkan mutu dan martabat profesinya.
7.    Guru memelihara hubungan seprofesi, semangat kekeluargaan dan kesetiakawan sosial.
8.    Guru bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organisasi PGRI sebagai saran perjuangan dan pengabdian.
9.    Guru melaksanakan segala kebijaksanaan pemerintah dalam bidang pendidikan.
Kode etik guru ini merupakan suatu yang harus dilaksakan sebagai barometer dari semua sikap dan perbuatan guru dalam berbagai segi kehidupan, baik dalam keluarga, sekolah maupun masyarakat.
C.  Tujuan kode etik
Pada dasarnya tujuan merumuskan kode etik dalam suatu profesi adalah untuk kepentingan anggota dan kepentingan organisasi profesi itu sendiri. Secara umum tujuan mengadakan kode etik adalah sebagai berikut:[10]
a.    Untuk menjunjung tinggi martabat profesi
Dalam hal ini kode etik dapat menjaga pandagan dan kesan dari pihak luar atau masyarakat, agar mereka jangan sampai memandang rendah tauremeh terhadap profesi yang bersangkutan. Oleh karenanya, setiap kode etik suatu profesi akan melarang berbagai bentuk tinda-tanduk atau kelakuan anggota profesi yang daat mencemarkan nama baik profesi terhadap dunia luar. Dari segi ini, kode etik juga seringkali disebut kode kehormatan.
b.    Untuk menjaga dan memelihara kesejahteraan para anggotanya
Yang dimaksudkan kesejahteraan disni meliputi baik kesejahteraan lahir (atau material) maupun kesejahteraan batin (spiritual atau mental). Dalam hal kesejahteraan lahir para anggota profesi, kode etik umumnya memuat larangan-larangan kepada para anggotanya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang merugikan kesejahteraan para anggotanya. Misalnya dengan menetapkan tarif-tarif minimum bagi honorarium anggota profesi dalam melaksanakan tugasnya, sehingga siapa-siapa yang mengadakan tarif di bawah minimum akan diangga tercela dan merugikan rekan-rekan seprofesi. Dalam hal kesejahteraan batin paea anggota profesi,kode etik umumnya memberi petunjuk-petunjuk kepada para anggotanya untuk melaksanakan profesinya.
Kode etik juga sering mengandung peraturan-peraturan yang bertujuan membatasi tingkah laku yang tidak pantas atau tidak jujur bagi para anggota profesi dalam berinteraksi dengan sesama rekan anggota profesi.
c.    Untuk meingkatkan pengabdian para anggota profesi
Tujuan lain kode etik juga berkaitan dengan peningkatan kegiatan pengabdian profesi, sehingga bagi para anggota profesi dapat dengan mudah mengetahui tugas dan tanggung jawabpengabdian dalam melaksanakan tugasnya. Olek karena itu, kode etik merumuskan ketentuan-ketentuan yang perlu dilakukan para anggota profesi dalam menjalankan tugasnya.
d.   Untuk meningkatkan mutu profesi
Untuk meningkatkan mutu profesi kode etik juga memuat norma-norma dan anjuran agar para anggota profesi selalu berusaha untuk meningkatkan mutu pengabdian para anggotanya.
e.    Untuk meningkatkan mutu organisasi profesi
Untuk meningkatkan mutu organisasi profesi, maka diwajibkan kepada setiap anggota untuk secara aktif berpartisipasi dalam membina organisasi profesi dan kegiatan-kegiatan yang dirancang organisasi.
Dari uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan suatu profesi menyusun kode etik adalah utnuk menjunjung tinggi martabat profesi, menjaga dan memelihara kesejahteraan pada para anggota. Meningkatkan pengabdian anggota profesi, dan meningkatkan mutu profesi dan mutu organisasi profesi.
D.  Penetapan kode etik
Kode etik hanya dapat ditetapkan oleh suatu organisasi profesi yang berlaku dan mengikat para anggotanya. Penetapan kode etik lazim dilakukan pada suatu kongres organisasi profesi. Dengan demikian, penetapan kode etik tidak boleh dilakukan oleh orang secara perorangan, melainkan harus dilakukan oleh orang-orang yang diutus untuk dan atas nama anggota-anggota profesi dari organisasi tersebut.[11] Dengan demikian, jelas bahwa orang-orang yang bukan atau tidak menjadi anggota profesi tersebut. Kode etik suatu profesi hanya akan mempunyai pengaruh kuat dalam menegakkan disiplin dikalangan profesi tersebut, jika semua orang yang menjalani profesi tersebut tergabung (menjadi anggota) dalam organisasi profesi yang bersangkutan.
Apabila setiap orang yang menjalankan suatu profesi secara otomatis tergabung dalam suatu organisasi atau ikatan profesional, maka barulah ada jaminan bahwa profesi tersebut dapat dijalankan secara murni dan baik, karena setiap anggota profesi yang melakukan pelanggaran yang serius terhadap kode etik dapat dikenakan sanksi.
E.   Sanksi pelanggaran kode etik
Sering juga kita jumpai, bahwa ada kalanya negara mencampuri urusan profesi, sehingga hal-hal yang semula hanya merupakan kode etik dari suatu profesi tertentu dapat meningkat menjadi peraturan hukum atau undang-undang. Apabila halnya demikian, maka aturan yang mulanya sebagai landasan moral dan pedoman tingkah laku meningkat menjadi aturan yang memberikan sanksi-sanksi hukum yang sifatnya memaksa, baik berupa sanski perdata maupun sanksi pidana. Sanksi terhadap guru yang melakukan pelanggaran dapat berupa:[12]
·      Teguran
·      Peringatan tertulis
·      Penundaan pemberian hak guru
·      Penurunan Pangkat
·      Pemberhentian dengan hormat
·      Pemberhentian tidak dengan hormat, jika:
a.       Melanggar sumpah dan janji jabatan.
b.      Melanggar perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.
c.       Melalaikan kewajiban  dalam melaksanakan tugas selama 1 bulan atau lebih secara terus menerus.
Sebagai contoh dalam hal ini jika seseorang anggota profesi bersaing secara tidak juur atau curang dengan sesama anggota profesinya, dan jika dianggap kecurangan itu serius ia dapat dituntut di muka pengadilan. Pada umumnya, karena kode etik adalah landasan moral dan merupakan pedoman  sikap, tingkah laku, dan perbuatan maka sanksi terhadap pelanggaran kode etik adalah sanksi moral. Barangsiapa melanggar kode etik akan mendapat celaan dari rekan-rekannya, sedangkan sanksi yang dianggap terberat adalah dalam suatu organisasi profesi tertentu, menandakan bahwa organisasi profesi itu telah mantap.
d.   Organisasi Profesional keguruan
1.    Undang-undang yang mengatur Organisasi profesi dan kode etik.
Undang-undang yang mengatur Organisasi profesi dan kode etik tersebut terdapat pada Undang-undang RI No. 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen.[13]
BAB IV GURU
Bagian Ke-Sembilan
Organisasi Profesi Dan Kode Etik
Pasal 41:
1.    Guru membentuk organisasi profesi yang bersifat independen
2.    Organisasi profesi sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) berfungsi untuk memajukan profesi, meningkatkan kompetensi, karier, wawasan kependidikan, perlindungan profesi, kesejahteraan dan pengabdian kepada masyarakat.
3.    Guru wajib menjadi anggota organisasi profesi.
4.    Pembentukan organisasi profesi sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dangan peraturan perundang-undangan.
5.    Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dapat memfasilitasi organisasi profesi guru dalam pelaksanaan pembinaan dan pengembangan profesi guru.
Pasal 42
Organisasi profesi guru mempunyai kewenangan:
a.    Menetapkan dan menegakkan kode etik guru;
b.    Memeberikan bantuan hukum kepada guru;
c.    Memberikan perlindungan profesi guru;
d.   Melakukan pembinaan dan pengembangan profesi guru; dan
e.    Memajukan pendidikan nasional.
Pasal 43
1.    Untuk menjaga dan meningkatkan kehormatan dan martabat guru dalam pelaksanaan tugas keprofesionalan, organisasi profesi guru membentuk kode etik.
2.    Kode etik sebagaimana pada ayat (1) berisi norma dan etika yang mengikat perilaku guru dalam pelaksannan tugas keprofesionalan.
Pasal 44
1.    Dewan kehormatan guru dibentuk oleh organisasi profesi guru
2.    Keanggotaan serta mekanisme kerja dewan kehormatan guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam anggaran dasar organisasi profesi guru.
3.    Dewan kehormatan guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk untuk mengawasi pelaksanaan kode etik guru dan memberikan rekomendasi pemberian sanksi atas pelanggaran kode etik oleh guru.
4.    Rekomendasi dewan kehormatan profesi guru sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hams objektif, tidak diskriminatif, dan tidak bertentangan dengan anggaran dasar organisasi profesi serta peraturan perundang-undangan.
5.    Organisasi profesi guru wajib melaksanakan rekomendasi dewan kehormatan guru sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
2.    Fungsi organisasi profesional keguruan
Seperti yang telah disebutkan dalam salah satu kriteria jabatan profesional, jabatan profesi harus mempunyai wadah untuk menyatukan gerak langkah dan mengendalikan keseluruhan profesi, yakni organisasi profesi. Bagi guru-guru di negara kita, wadah ini telah ada yakni Persatuan Guru Republik Indonesia yang lebih dikenal dengan singkatan PGRI. PGRI didirikan di Surakarta pada tanggal 25 November 1945, sebagai perwujudan aspirasi guru indonesia dalam mewujudkan cita-cita perjuangan bangsa.
Salah satu tujuan PGRI adalah mempertinggi kesadaran, sikap, mutu, dan kegiatan profesi guru serta meningkatkan kesejahteraan mereka. Selanjutnya, Bsuni menguraikan empat misi utama PGRI, yakni: (a) misi politis/ideologi, (b) misi persatuan organisatoris, (c) misi profesi, (d) misi kesejahteraan. Kelihatannya, dari realitasnya dalam prpgram-program PGRI. Ini dapat dibuktikan dengan telah adanya wakil-wakil PGRI dalam badam legislatif seperti DPR dan MPR. Peranan yang lebih menonjol ini dapat kita pahamisesuai dengan tahap perkembangan dan pembangunan bangsa dalam era orde baru ini.
Dalam pelaksanaan misi lainnya, misi kesejahteraan, kelihatannya masih perlu ditingkatkan. Sementara pelaksanaan misi ketiga, misi prifesi, belum tampak kiprah nyatanya dan belum terlalu melembaga.
Dalam kaitannya dengan pengembangan profesional guru, PGRI sampai saat ini masih mengandalkan pihak pemerintah, misalnya dalam merencanakan dan melakukan program-program  penataran guru serta program peningkatan mutu lainnya. PGRI belum banyak merencanakan dan melakukan program atau kegiatan yang berkaitan dengan perbaikan cara mengajar, peningkatan pengetahuan dan keterampilan guru, peningkatan kualifikasi guru atau melakukan peneltiian ilmiah tentang masalah-masalah profesional yang dihadapi oleh para guru dewasa ini.
3.    Jensis-jenis Organisasi Guru
Selain PGRI sebagai satu-satunya organisasi guru yang diakui pemerintah sampai saat ini, ada organisasi guru yang disebut Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) yang bertujuan meningkatkan mutu dan profesionalisasi guru dalam kelompoknya masing-masing. Kegiatan-kegiatan dalam kelompok ini diatur dengan jadwal yang cukup baik.
Organisasi profesi pendidikan lainnya adalah Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI), Asosiasi Bimbingan dan Konseling Profesi Indonesia (ABKIN), Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI),  Himpunan Sarjana Pendidikan Bahasa Indonesia (HSPBI), dan lain-lain.[14]
Hubungan organisasi tersebut dengan PGRI masih belum tampak nyata secara formal, sehingga nampak kerjasama mutualisme dalam peningkatan kualitas guru. Dengan diberlakukannya standar kompetensi dann sertifikasi guru, organisasi-organisasi profesi tersebut akan sangat berperan dalam meningkatkan kualitas guru, melalui berbagai kegiatan sesuai dengan visi dan misinya masing-masing.





DAFTAR PUSTAKA




[1] Syaiful Bahri Djamarah, Guru Dan Anak Didik dalam interaksi edukatif  (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2010) hlm  49
[2] Keindahan senja_makalah kode etik
[3] Syaiful Bahri Djamarah, Guru Dan Anak Didik dalam interaksi edukatif  (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2010) hlm  49

[4] Supardi, Profesi Keguruan Berkompetensi Dan Bersertifikat, (Jakarta: Diadit Media, 1999) hlm 36
[5] Ibid: hlm 36
[6]  Syaiful Bahri Djamarah, Guru Dan Anak Didik dalam interaksi edukatif  (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2010) hlm  49
[7] Supardi, Profesi Keguruan Berkompetensi Dan Bersertifikat, (Jakarta: Diadit Media, 1999) hlm 38
[8] Syaiful Bahri Djamarah, Guru Dan Anak Didik dalam interaksi edukatif  (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2010) hlm  50
[9] Udin Syaefudin Saud, Pengembangan Profesi Guru, (Bandung: Alfabeta, 2013) hlm 80
[10] Soetjipto, Profesi keguruan  (Jjakarta: PT. Rineka Cipta, 1999) hlm 29
[11] Soetjipto, Profesi keguruan  (Jjakarta: PT. Rineka Cipta, 1999) hlm 29
[12] Keindahan senja_makalah kode etik
[13] Undang-undang dan peraturan pemerintah RI tentang pendidikan. Direktorat Jendral Pendidikan Islam Agama RI 2006. Hal: 103
[14] Mulyasa, Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012), hlm 49

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

kucing nakal